Table of Contents
ToggleDi Aceh, Bencana Banjir Bukan Hanya Membawa Kekacauan, Tapi juga Penderitaan
Nah, bencana alam seringkali terasa seperti kejutan tak terduga. Satu minggu lalu, Aceh dihantam banjir dan longsor yang begitu mengerikan. Tapi, apa yang membuat Mualem, Gubernur Aceh, terus menerus menyesal? Ternyata, bukan hanya kerusakan fisik yang menimpa warga, tapi juga kondisi kritis yang tersembunyi di balik hujan deras dan air menggenang.
Kekhawatiran Gubernur: Banyak yang Meninggal, Tapi Bukan Karena Banjir
Ketika wawancara dengan wartawan, Mualem mengungkapkan kekhawatirannya dengan nada yang penuh emosi.
“Kondisi pengungsi sangat membimbangkan, mereka mati bukan karena banjir, tapi mati karena kelaparan, itu saja,”
ujarnya. Kalimat sederhana ini menggambarkan keadaan yang memprihatinkan: warga Aceh yang terisolir di daerah pedalaman, terpaksa menghabiskan hari-hari dengan lapar dan keputusasaan.
“Kondisi pengungsi sangat membimbangkan (mengkhawatirkan), mereka mati bukan karena banjir, tapi mati karena kelaparan, itu saja,”
Kata-kata itu bukan sekadar laporan, tapi seperti pengingat keras bahwa bencana bisa menyebabkan kekacauan yang lebih dalam dari yang terlihat. Mualem menekankan bahwa kebutuhan utama saat ini bukan hanya perlengkapan kebutuhan pokok, tapi juga jaminan ketersediaan air bersih yang cukup.
“Masyarakat sangat membutuhkan sembako terutama di pedalaman belum terjamah,”
tambahnya.
Banjir di Aceh Tamiang:
“Hancur Habis, Atas Sampai Bawah”
“Hancur Habis, Atas Sampai Bawah”
Di antara daerah yang terkena dampak paling parah, Aceh Tamiang menjadi perhatian utama. Mualem mengungkapkan bahwa kondisi di sana sangat kritis.
“Aceh Tamiang hancur habis, atas sampai bawah sampai jalan sampai ke laut habis semuanya. Yang paling terpuruk adalah Aceh Tamiang,”
katanya dengan nada sedih. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan—beberapa desa di sana hampir tak tersisa, dihancurkan oleh air yang meluber.
“Aceh Tamiang hancur habis, atas sampai bawah sampai jalan sampai ke laut habis semuanya. Yang paling terpuruk adalah Aceh Tamiang,”
Bencana yang terjadi ini memang memicu pertanyaan retoris: apakah kita sudah siap menghadapi krisis yang lebih besar? Mualem meminta semua pihak, termasuk kepala desa, untuk proaktif dalam menyalurkan bantuan.
“Pasokan logistik harus dipasok menggunakan perahu karet karena tidak ada akses darat,”
jelasnya. Itu adalah tantangan nyata yang dihadapi para pekerja bantuan di sana.
Kembali ke Kecamatan dan Kampung yang Tinggal Nama
Di tengah kesedihan dan kekacauan, Mualem juga menyampaikan kepedulian terhadap kehilangan identitas beberapa kampung dan kecamatan.
“Banyak kampung dan kecamatan yang tinggal nama sekarang. Jadi mereka sudah banyak korban,”
ujarnya dalam wawancara yang sama. Bahasa sederhana ini menggambarkan kehancuran yang tidak hanya terlihat dari bangunan, tapi juga dari sejarah dan kehidupan warga yang tergugah.
“Banyak kampung dan kecamatan yang tinggal nama sekarang. Jadi mereka sudah banyak korban,”
Kata-kata itu mengingatkan kita bahwa bencana bisa mengubah segalanya dalam hitungan jam. Mualem tak hanya berbicara tentang korban jiwa, tapi juga tentang ketidakberdayaan warga yang terjebak di daerah terisolir.
“Weuh hate (sedih sekali) dan juga dengan rasa waswas kalau kita lihat beberapa kabupaten urgen sekali, parah sekali, lebih banyak korban jiwa,”
lanjutnya. Rasa sedih dan waswas itu mencerminkan betapa beratnya beban yang diambil oleh pemimpin Aceh.
Konteks yang Lebih Luas: Banjir sebagai
“Tsunami Kedua”
“Tsunami Kedua”
Mualem membandingkan bencana banjir yang terjadi pekan lalu dengan tsunami 21 tahun silam.
“Saya pribadi melihat banjir dan longsor ini adalah tsunami kedua,”
ujarnya. Perumpamaan ini mengundang refleksi: apakah Aceh sudah lupa akan kesedihan yang pernah mereka alami? Ternyata, bencana ini bisa mengingatkan kita kembali tentang kelemahan alam dan kekuatan manusia dalam menghadapinya.
“Saya pribadi melihat banjir dan longsor ini adalah tsunami kedua,”
Dengan kutipan seperti ini, Mualem bukan hanya memberi laporan, tapi juga membangun kesadaran bahwa bencana adalah pelajaran berharga. Meski keadaannya memprihatinkan, ia tetap mengingatkan bahwa setiap bencana memiliki hikmah.
“Setiap bencana ada hikmahnya,”
tuturnya. Namun, hikmah itu akan terasa jika kita bisa segera mengambil tindakan.
Dalam kesedihan dan kekacauan, Mualem menunjukkan kepekaan sebagai pemimpin. Dari Aceh Tamiang yang hancur total hingga desa-desa kecil yang tertinggal, ia memandang keadaan dengan hati yang terbuka. Bencana ini bukan hanya peristiwa yang terjadi, tapi juga cerminan dari ketidakseimbangan yang selama ini ada. Apakah kita bisa menyelamatkan mereka? Ternyata, jawabannya ada di tangan kita semua.












